TEMPO.CO, Jakarta - Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung melalui perjalanan panjang. Wacana membangun sepur kilat itu sudah muncul sejak sembilan tahun lalu.
Pada Maret 2012, pemerintah membuka wacana untuk mengembangkan kereta cepat Jakarta-Bandung. Pengkajian kelayakan ekonomi sempat dikerjakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) atas permintaan Susilo Bambang Yudhoypno yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI.
Tiga tahun kemudian, pada Maret 2015, pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo alias Jokowi menyetujui proyek kereta cepat dalam rapat terbatas. Membuka kemungkinan tak hanya digarap Jepang, Indonesia memberikan peluang kepada Cina untuk ikut bersaing menawarkan uji pra-studi kelayakan.
Dalam pra-studi kelayakannya, Jepang menawarkan nilai proyek Rp 60,79 triliun dengan kecepatan 320 kilometer per jam. Kebutuhan investasi dibiayai dengan pinjaman lunak Jepang sebesar 75 persen. Bunga pinjaman itu 0,1 persen, tenor 40 tahun, dan 10 tahun grace period.
Kemudian pemerintah mengeluarkan 16 persen untuk pembebasan lahan, pajak, layanan teknis, dan manajemen. Sisa 10 persen berasal dari SPV (operator kereta cepat). Rencana konstruksi dimulai pada 2016, test-run 2019, dan pengoperasian 2021.
Sedangkan Cina menawarkan nilai proyek proyek US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 71,5 triliun (asumsi kurs saat itu). Kecepatan maksimal kereta cepat ialah 300 kilometer per jam. Skema pembiayaan yang ditawarkan Cina adalah BUMN mendapat pinjaman 60 persen dari total biaya proyek, tenor 40 tahun, grace period 10 tahun, dan bunga 2 persen. Adapun konstruksi dimulai Agustus atau September 2015, dan selesai pada 2018.